Perkembangan dunia teknologi dan informasi dapat berkembang karena
adanya keinginan dari para pelaku komunikasi untuk hidup yang lebih
mudah dan efisien. Segala upaya dilakukan dalam pencapaianya dengan
memanfaatkan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada. Inovasi
demi inovasi tercipta dan dikomunikasikan ke seluruh kalangan. Contoh
yang sangat konkrit dari penyampaian inovasi yang sangat berlaku dalam
kalangan masyarakat kita adalah program Keluarga Berencana (KB) yang marak pada era Orde Baru oleh pemerintah.
Proses pengkomunikasian dimana suatu inovasi melalui saluran tertentu
dalam jangka waktu tertentu di antara para anggota suatu sistem sosial
dinamakan difusi. Difuisi inovasi dalam program Keluarga Berencana
dinyatakan berhasil karena mampu menurunkan angka kenaikan jumlah
penduduk yang sangat pesat di Indonesia saat itu dan mulai menghapuskan
paradigma “banyak anak, banyak rejeki” di kalangan masyarakat. Pada
pelaksanaannya, difusi inovasi Keluarga Berencana ini menggunakan
saluran interpersonal dari para tokoh masyarakat dan pemuka pendapat
yang didukung oleh saluran komunikasi media massa. Dalam kurun waktu
tertentu, akhirnya program pemerintah tersebut dapat dimengerti,
dipahami, diterima, dan diimplementasikan oleh rakyat Indonesia.
Kita dapat mencoba menilai seberapa berhasilkah inovasi-inovasi yang
dilakukan dalam bentuk program maupun barang atau jasa. Kali ini penulis
mencoba mengkaji program pemerintah dengan pengadaan kompor gas 3 kg.
masyarakat pedesaan membutuhkan pemahaman dan alasan yang lebih agar
dapat berpindah dari penggunaan minyak tanah atau kayu bakar ke kompor
gas ini. Apakah program tersebut berhasil diterima oleh target dari
program ini? Sekilas mungkin terlihat jelas kegunaannya, tapi disini
kita mencoba mengkaji alasan mengapa inovasi itu bisa diterima
masyarakat berdasarkan ciri dari inovasi itu sendiri. Ada beberapa cirri
dari inovasi, antara lain ; Relative advantage (keuntungan relative),
compatibility (kesesuaian), complexity (kerumitan), Triability
(kemungkinan dicoba) dan observability (kemungkinan diamati).
Berdasarkan teori-teori tersebut, pengadaan kompor gas 3 kg memiliki
nilai keuntungan yang relatif karena pengadaan gas ini dirasakan lebih
baik khususnya dari segi ekonomis daripada penggunaan minyak tanah dan
kayu bakar. Pengadaan kompor gas ini juga memiliki nilai kesesuaian
dengan kebutuhan masyarakat khususnya masyarakat ekonomi rendah yang
memiliki mobilitas dalam dunia dagang. Kini pedagang dapat membawa
kompornya sendiri dengan menggunakan gerobak tanpa membawa kayu bakar
atau khawatir minyak tanahnya berserakan. Tingkan kerumitannya yang
rendah membuat semua kalangan dapat memanfaatkan gas 3 kg ini sehingga
kemungkinan dicobanya sangat tinggi dan program ini dapat sangat mudah
diamati oleh pemerintah selaku pelaku dari program pengadaan gas 3 kg
ini. Terlepas dari banyaknya kasus ledakan dari akibat kebocoran gas
ini, pengadaan gas 3 kg dapat di terima dengan baik oleh masyarakat
secara luas.
Keberhasilan program keluarga berencana dan pengadaan gas 3 kg dapat
berhasil karena adanya pemanfaatan yang maksimal dari teknologi
komunikasi yang ada. Saat program KB dicanangkan pemerintah, seluruh
media massa digunakan pemerintah untukn mengkomunikasikan program ini.
Lain halnya dengan pengadaan gas 3 kg, penulis mengamati bahwa sangat
jarang menemukan pengkomunikasian maupun iklan dari keberadaan gas 3 kg
ini. Saluran komunikasi khususnya media massa digunakan secara maksimal
ketika kasus-kasus kebocoran gas mulai muncul di kalangan masyarakat.
Kedua upaya yang dilakukan pemerintah ini dapat berhasil karena terdapat
ketersediaan sumber daya manusia yang menguasai dan terampil dalam
pengoprasian penerapan teknologi komunikasi yang terus berkembang.
Dalam implementasi teknologi komunikasi ini diperlukan suatu
pendekatan sosio-kultural. Artinya, segala kegiatannya haruslah
memandang keyakinan maupun norma yang ada di kalangan masyarakat. Hal
ini dianggap penting karena masyarakat merupakan sekumpulan orang yang
melek terhadap teknokom. Mereka merupakan orang yang menguasai
lingkungan mereka, sehingga tidak mudah memberikan informasi yang baru
terhadap mereka. Segala informasi dijadikan sebagai kegiatan utama dalam
suatu keadaan masyarakat. Keberadaan teknologi informasi digunakan
secara penuh guna mencapai keuntungan dalam segala aspek kehidupan.
Segala keadaan tersebut memnbuat masyarakat kita ini dikenal sebagai
masyarakan informasi.
Masyarakat informasi memiliki kebutuhan informasi yang sangat tinggi
dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat informasi memanfaatkan teknologi
informasi untuk kegiatan sehari-harinya guna mendukung efisiensi kerja.
Jika dibandingkan dengan masyarakat agraris dan masyarakat industri,
masyarakat informasi memiliki perbedaan yang sangat jelas satu sama
lain. Jika dilihat dais umber daya yang diolah, masyarakat agraris
mengelola Sumber daya alam seperti air , tanah, dan manusia. Masyarakat
industry mengelola tenaga baik listrik, maupun bahan bakar. Sedangkan
masyarakat informasi, transmisi data dan omputer lah yang dikelola.
Selain itu, jika dilihat dari kahlian SDM yang dibutuhkan, masyarakat
informasi membutuhkan pekerja profeisonal dengan skill tinggi khususnya
dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan masyarakat agraris
hanya membutuhkan SDM seperti petani (tanpa skill tertentu) dan
masyarakat industry hanya membuituhkan ahli mesin maupun pekerja skill
khusus.
Keberadaan masyarakat informasi selaku salah satu bentuk perubahan
tentu saja memiliki nilai positif maupun nilai negative. Secara positif,
masyarakat informasi dapat menambah wawasan tentang pemanfaatan
teknologi sebagai sarana pembelajaran dengan sangat cepat. Kini kita
dapat mengetahui informasi penting yang beredar di kancah internasional.
Bayangkan, tanpa adanya tayangan televise, darimana kita dapat
mengetahui gambaran secara langsung kejadian tertabraknya gedung kembar
WTC oleh pesawat?
Teknologi informasi membuat kita dapat melihat dunia dengan mudah
dengan segala perkembangannya. Sisi negatifnya, adanya teknologi
informasi membuat orang luar dapat dengan mudah masuk ke indonesia
dengan membawa nilai dan norma yang belum tentu sesuai dengan indoneisa.
Kini Negara bagian barat masih sangat menguasai informasi dan dampaknya
sangat terasa di Negara-negara timur seperti Indonesia yang menjunjung
tinggi norma kesopanan. Akibatnya yang sangat terasa adalah model
pakaian yang marak dipakai anak muda. Model pakaian yang terus
memperlihatkan keindahan bagian tubuh sangat tidak sesuai dengan norma
dan nilai yang berlaku khususnya di Negara yang mayoritas beragama islam
seperti Indonesia.
Sebagai bangsa yang memiliki pegangan atas keberangsungan hidup
bermasyarakat, Indonesia sebagai negara yang memiliki ideology pancasila
dianggap layak menjadikannya filter atas pengaruh luar. Di dalamnya
sudah tercantum nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan, dan keadilan. Sebagai negara yang memiliki jumlah suku dan
adat yang berlimpah dan beraneka ragam, kearifan local atas norma dan
nilai yang dianut juga menjadi salah satu filter yang ideal untuk
menjaga keutuhan bangsa Indonesia yang beradab. Hal-hal tersebut sudah
membuktikan bahwa Indonesia bisa terus bertahan dengan kearifan lokalnya
masing-masing dan dikenal di mata dunia atas keramah tamahan
masyarakatnya dan itulah sebab mengapa kesopanan ini dianggap sebagai
kepribadian bangsa indonesia.
Media massa maupun para praktisi melihat hal ini sebagai masalah yang
serius bagi bangsa Indonesia. Namun penulis menilai bahwa dampak-dampak
ini tidak akan mempengaruhi indoneisa secara keseluruhan karena adanya
kesenjangan digital di Indonesia. Kesenjangan digital menyatakan bahwa
segala informasi yang disebarkan melalui kemajuan teknologi yang sangat
tinggi tidak dapat diterima khalayak karena keterbatasan khalayak dalam
mencapai teknologi tersebut. Kesenjangan digital dapat menghambat
penyampaian informasi itu sendiri atau bahkan menjadi penyebab dari
tidak sampainya informasi tersebut. Selanjutnya, kesenjangan digital ini
dapat menjadi penghambat akan pembangunan bangsa.
Kesenjangan sosial tersebut didefinisikan oleh OECD tahun 2001
sebagai suatu gap/kesenjangan antar individu, kelompok, bisnis dan area
geografis pada level sosial-ekonomi yang berbeda, dimana sangat
membutuhkan akses teknologi informasi dan komunikasi serta penggunaan
internet untuk berbagai aktivitas kehidupan. Masalah kesendangan digital
di Indonesia didasar atas tidak meratanya pembangunan infrastruktur
jaringan komunikasi dan dan regulasi di berbagai daerah. Penulis
mengamati akan keberadaan kesenjangan digital dalam dunia pendidikan.
Kini, pemerintahan pusat yang bergerak di bidang pendidikan sedang
mengkampanyekan e-learning dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir.
Padahal, beberapa daerah di Indonesia masih belum bisa menerima program
tersebut. Masih banyak dari daerah di indoneisa, khususnya diluar pulau
jawa masih menggunakan kapur dalam menulis di depan kelas. Bahkan,
provinsi banten yang merupakan tetangga dari provinsi DKI Jakarta yang
merupkan pusat pemerintahan Indonesia masih memiliki sarana yang sangat
tidak mendukung kegiatan pembelajaran seperti ruang kelas yang tidak
kondusif dan atap yang bolong.
Kesenjangan digital ini sudah sangat diakui khususnya oleh menteri
komunikasi dan informatika, Tifatul Sembiring yang menyatakan bahwa
terdapat kesenjangan digital antara pusat dan daerah di Indonesia.
Kesenjangan itu terjadi dari masih minimnya infrastruktur informasi dan
komunikasi di wilayah Indonesia timur. Menanggapi persoalan ini,
pemerintah mengungkapkan sudah memiliki lima kunci sukses dalam
menghadapinya antara lain menempatkan teknologi informasi sebagai pilar
bangsa, menjadikan teknologi sebagai penghasil devisa baru, teknologi
sebagai penyerap tenaga, kerja, teknologi menjadi alat mencerdaskan
bangsa, dan teknologi sebagai alat demokrasi dan menjaga NKRI.
Rencana yang dicanangkan tersebut patut mendapat dukungan dari kita
sebagai masyarakat yang baik. Namun jika semua hal tersebut sudah
berhasil dilakukan, masyarakat hanya dapat kembali berusaha menjadi
masyarakat yang cerdas dalam memanfaatkan teknologi informasi. Hal ini
menunjukan bahwa masyarakat sudah menjadi masyarakat informasi dan mulai
selektif dalam mendapatkan informasi. Masyarakat informasi memiliki
pola pikir yang terus berkembang sejalan dengan perkembangan informasi
guna mendapatkan dampak positif semaksimal mungkin dari teknologi
informasi. Kita harus mulai memaklumi pula dampak dari negatifnya namun
tetap berpegan teguh pada norma-norma kebudayaan bangsa kita. Filter
yang tepat dalam meminimalisasi dampak negative ini adalah nilai-nilai
pancasila, agama, norma-norma kebudayaan, dan kepribadian bangsa.
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar