Rabu, 24 September 2014

Implementasi Perkembangan Teknologi bagi Masyarakat Indonesia sebagai Masyarakat Informasi

Perkembangan dunia teknologi dan informasi dapat berkembang karena adanya keinginan dari para pelaku komunikasi untuk hidup yang lebih mudah dan efisien. Segala upaya dilakukan dalam pencapaianya dengan memanfaatkan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada. Inovasi demi inovasi tercipta dan dikomunikasikan ke seluruh kalangan. Contoh yang sangat konkrit dari penyampaian inovasi yang sangat berlaku dalam kalangan masyarakat kita adalah program Keluarga Berencana (KB) yang marak pada era Orde Baru oleh pemerintah.
Proses pengkomunikasian dimana suatu inovasi melalui saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu di antara para anggota suatu sistem sosial dinamakan difusi. Difuisi inovasi dalam program Keluarga Berencana dinyatakan berhasil karena mampu menurunkan angka kenaikan jumlah penduduk yang sangat pesat di Indonesia saat itu dan mulai menghapuskan paradigma “banyak anak, banyak rejeki” di kalangan masyarakat. Pada pelaksanaannya, difusi inovasi Keluarga Berencana ini  menggunakan saluran interpersonal dari para tokoh masyarakat dan pemuka pendapat yang didukung oleh saluran komunikasi media massa. Dalam kurun waktu tertentu, akhirnya program pemerintah tersebut  dapat dimengerti, dipahami, diterima, dan diimplementasikan oleh rakyat Indonesia.
Kita dapat mencoba menilai seberapa berhasilkah inovasi-inovasi yang dilakukan dalam bentuk program maupun barang atau jasa. Kali ini penulis mencoba mengkaji program pemerintah dengan pengadaan kompor gas 3 kg. masyarakat pedesaan membutuhkan pemahaman dan alasan yang lebih agar dapat berpindah dari penggunaan minyak tanah atau kayu bakar ke kompor gas ini. Apakah program tersebut berhasil diterima oleh target dari program ini? Sekilas mungkin terlihat jelas kegunaannya, tapi disini kita mencoba mengkaji alasan mengapa inovasi itu bisa diterima masyarakat berdasarkan ciri dari inovasi itu sendiri. Ada beberapa cirri dari inovasi, antara lain ; Relative advantage (keuntungan relative), compatibility (kesesuaian), complexity (kerumitan), Triability (kemungkinan dicoba) dan observability (kemungkinan diamati). Berdasarkan teori-teori tersebut, pengadaan kompor gas 3 kg memiliki nilai keuntungan yang relatif karena pengadaan gas ini dirasakan lebih baik khususnya dari segi ekonomis daripada penggunaan minyak tanah dan kayu bakar. Pengadaan kompor gas ini juga memiliki nilai kesesuaian dengan kebutuhan masyarakat khususnya masyarakat ekonomi rendah yang memiliki mobilitas dalam dunia dagang. Kini pedagang dapat membawa kompornya sendiri dengan menggunakan gerobak tanpa membawa kayu bakar atau khawatir minyak tanahnya berserakan. Tingkan kerumitannya yang rendah membuat semua kalangan dapat memanfaatkan gas 3 kg ini sehingga kemungkinan dicobanya sangat tinggi dan program ini dapat sangat mudah diamati oleh pemerintah selaku pelaku dari program pengadaan gas 3 kg ini. Terlepas dari banyaknya kasus ledakan dari akibat kebocoran gas ini, pengadaan gas 3 kg dapat di terima dengan baik oleh masyarakat secara luas.
Keberhasilan program keluarga berencana dan pengadaan gas 3 kg dapat berhasil karena adanya pemanfaatan yang maksimal dari teknologi komunikasi yang ada. Saat program KB dicanangkan pemerintah, seluruh media massa  digunakan pemerintah untukn mengkomunikasikan program ini. Lain halnya dengan pengadaan gas 3 kg, penulis mengamati bahwa sangat jarang menemukan pengkomunikasian maupun iklan dari keberadaan gas 3 kg ini. Saluran komunikasi khususnya media massa digunakan secara maksimal ketika kasus-kasus kebocoran gas mulai muncul di kalangan masyarakat. Kedua upaya yang dilakukan pemerintah ini dapat berhasil karena terdapat ketersediaan sumber daya manusia yang menguasai dan terampil dalam pengoprasian penerapan teknologi komunikasi yang terus berkembang.
Dalam implementasi teknologi komunikasi ini diperlukan suatu pendekatan sosio-kultural. Artinya, segala kegiatannya haruslah memandang keyakinan maupun norma yang ada di kalangan masyarakat. Hal ini dianggap penting karena masyarakat merupakan sekumpulan orang yang melek terhadap teknokom. Mereka merupakan orang yang menguasai lingkungan mereka, sehingga tidak mudah memberikan informasi yang baru terhadap mereka. Segala informasi dijadikan sebagai kegiatan utama dalam suatu keadaan masyarakat.  Keberadaan teknologi informasi digunakan secara penuh guna mencapai keuntungan dalam segala aspek kehidupan. Segala keadaan tersebut memnbuat masyarakat kita ini dikenal sebagai masyarakan informasi.
Masyarakat informasi memiliki kebutuhan informasi yang sangat tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat informasi memanfaatkan teknologi informasi untuk kegiatan sehari-harinya guna mendukung efisiensi kerja. Jika dibandingkan dengan masyarakat agraris dan masyarakat industri, masyarakat informasi memiliki perbedaan yang sangat jelas satu sama lain. Jika dilihat dais umber daya yang diolah, masyarakat agraris mengelola Sumber daya alam seperti air , tanah, dan manusia. Masyarakat industry mengelola tenaga baik listrik, maupun bahan bakar. Sedangkan masyarakat informasi, transmisi data dan omputer lah yang dikelola. Selain itu, jika dilihat dari kahlian SDM yang dibutuhkan, masyarakat informasi membutuhkan pekerja profeisonal dengan skill tinggi khususnya dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan masyarakat agraris hanya membutuhkan SDM seperti petani (tanpa skill tertentu) dan masyarakat industry hanya membuituhkan ahli mesin maupun pekerja skill khusus.
Keberadaan  masyarakat informasi selaku salah satu bentuk perubahan tentu saja memiliki nilai positif maupun nilai negative. Secara positif, masyarakat informasi dapat menambah wawasan tentang pemanfaatan teknologi sebagai sarana pembelajaran dengan sangat cepat. Kini kita dapat mengetahui informasi penting yang beredar di kancah internasional. Bayangkan, tanpa adanya tayangan televise, darimana kita dapat mengetahui gambaran secara langsung kejadian tertabraknya gedung kembar WTC oleh pesawat?
Teknologi informasi membuat kita dapat melihat dunia dengan mudah dengan segala perkembangannya. Sisi negatifnya, adanya teknologi informasi membuat orang luar dapat dengan mudah masuk ke indonesia dengan membawa nilai dan norma yang belum tentu sesuai dengan indoneisa. Kini Negara bagian barat masih sangat menguasai informasi dan dampaknya sangat terasa di Negara-negara timur seperti Indonesia yang menjunjung tinggi norma kesopanan. Akibatnya yang sangat terasa adalah model pakaian yang marak dipakai anak muda. Model pakaian yang terus memperlihatkan keindahan bagian tubuh sangat tidak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku khususnya di Negara yang mayoritas beragama islam seperti Indonesia.
Sebagai bangsa yang memiliki pegangan atas keberangsungan hidup bermasyarakat, Indonesia sebagai negara yang memiliki ideology pancasila dianggap layak menjadikannya filter atas pengaruh luar. Di dalamnya sudah tercantum nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Sebagai negara yang memiliki jumlah suku dan adat yang berlimpah dan beraneka ragam, kearifan local atas norma dan nilai yang dianut juga menjadi salah satu filter yang ideal untuk menjaga keutuhan bangsa Indonesia yang beradab. Hal-hal tersebut sudah membuktikan bahwa Indonesia bisa terus bertahan dengan kearifan lokalnya masing-masing dan dikenal di mata dunia atas keramah tamahan masyarakatnya dan itulah sebab mengapa kesopanan ini dianggap sebagai kepribadian bangsa indonesia.
Media massa maupun para praktisi melihat hal ini sebagai masalah yang serius bagi bangsa Indonesia. Namun penulis menilai bahwa dampak-dampak ini tidak akan mempengaruhi indoneisa secara keseluruhan karena adanya kesenjangan digital di Indonesia. Kesenjangan digital menyatakan bahwa segala informasi yang disebarkan melalui kemajuan teknologi yang sangat tinggi tidak dapat diterima khalayak karena keterbatasan khalayak dalam mencapai teknologi tersebut. Kesenjangan digital dapat menghambat penyampaian informasi itu sendiri atau bahkan menjadi penyebab dari tidak sampainya informasi tersebut. Selanjutnya, kesenjangan digital ini dapat menjadi penghambat akan pembangunan bangsa.
Kesenjangan sosial tersebut didefinisikan oleh OECD tahun 2001 sebagai suatu gap/kesenjangan antar individu, kelompok, bisnis dan area geografis pada level sosial-ekonomi yang berbeda, dimana sangat membutuhkan akses teknologi informasi dan komunikasi serta penggunaan internet untuk berbagai aktivitas kehidupan. Masalah kesendangan digital di Indonesia didasar atas tidak meratanya pembangunan infrastruktur jaringan komunikasi dan dan regulasi di berbagai daerah. Penulis mengamati akan keberadaan kesenjangan digital dalam dunia pendidikan. Kini, pemerintahan pusat yang bergerak di bidang pendidikan sedang mengkampanyekan e-learning dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. Padahal, beberapa daerah di Indonesia masih belum bisa menerima program tersebut. Masih banyak dari daerah di indoneisa, khususnya diluar pulau jawa masih menggunakan kapur dalam menulis di depan kelas. Bahkan, provinsi banten yang merupakan tetangga dari provinsi DKI Jakarta yang merupkan pusat pemerintahan Indonesia masih memiliki sarana yang sangat tidak mendukung kegiatan pembelajaran seperti ruang kelas yang tidak kondusif dan atap yang bolong.
Kesenjangan digital ini sudah sangat diakui khususnya oleh menteri komunikasi dan informatika, Tifatul Sembiring yang menyatakan bahwa terdapat kesenjangan digital antara pusat dan daerah di Indonesia. Kesenjangan itu terjadi dari masih minimnya infrastruktur informasi dan komunikasi di wilayah Indonesia timur. Menanggapi persoalan ini, pemerintah mengungkapkan sudah memiliki lima kunci sukses dalam menghadapinya antara lain menempatkan teknologi informasi sebagai pilar bangsa, menjadikan teknologi sebagai  penghasil devisa baru, teknologi sebagai penyerap tenaga, kerja, teknologi menjadi alat mencerdaskan bangsa, dan teknologi sebagai alat demokrasi dan menjaga NKRI.
Rencana yang dicanangkan tersebut patut mendapat dukungan dari kita sebagai masyarakat yang baik. Namun jika semua hal tersebut sudah berhasil dilakukan, masyarakat hanya dapat kembali berusaha menjadi masyarakat yang cerdas dalam memanfaatkan teknologi informasi. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat sudah menjadi masyarakat informasi dan mulai selektif dalam mendapatkan informasi. Masyarakat informasi memiliki pola pikir yang terus berkembang sejalan dengan perkembangan informasi guna mendapatkan dampak positif semaksimal mungkin dari teknologi informasi. Kita harus mulai memaklumi pula dampak dari negatifnya namun tetap berpegan teguh pada norma-norma kebudayaan bangsa kita. Filter yang tepat dalam meminimalisasi dampak negative ini adalah nilai-nilai pancasila, agama, norma-norma kebudayaan, dan kepribadian bangsa.

Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar